October 13, 2011

Dari Correntes Hingga Guardafui

Angin berhembus kencang dari Barat Daya, menampar kulit wajah yang merah terpanggang matahari. Suara lonceng kapal berdentang bersahutan dengan teriakan burung camar mengiringi gemeretakan lunas serta lambung kapal yang tertatih membelah perairan Komoro. Cape Correntes telah sebulan lebih kita tinggalkan, dua bulan ke depan La Luz Del Cielo akan memasuki Cape Guardafui yang menjadi pembatas teluk Aden dan samudera Hindia.
“Kamu tahu kenapa semenanjung ini dinamai Guardafui, sobat? orang Portugis yang memberinya nama, Guarda berarti penjaga, sedangkan Fui berarti aku, Guardafui berarti penjagaku dan hmm..bisa juga aku sebut penjaga-Ku, bukan?" lalu tawamu membahana dan seketika reda saat ujung botol rum menemui mulutmu yang terperangkap dalam kumis dan jenggot yang tumbuh membabi buta.
"Kamu sedang berada di pintu surga sobat! Lihatlah betapa menakjubkannya teluk itu, dan kita berdiri disini sebagai malaikat penjaga gerbangnya...hahahaha?" lalu botol ditanganmu-pun pecah berantakan saat kamu terjungkal diantara bebatuan karang. Itulah dirimu, seorang pemuda kurus dengan tatapan kosong itu kini telah berubah menjadi pria kekar perkasa yang gemar menenggak Rum kapanpun kamu inginkan itu.

Awan berarak dengan kecepatan tinggi di udara, dan bulan separuh purnama bagaikan perahu yang melaju di lautan yang berbuih. Lama aku menengadah mengagumi efek yang ditimbulkan oleh angin muson ini. Sedangkan kamu hanya duduk terpekur memandangi guratan keperakan yang ditinggalkan cahaya bulan di permukaan laut.
"Kamu oke mister?" tanyaku sambil merogoh kotak tembakau di saku.
"Nnn..nah..." jawabmu terbata.
"terakhir kali aku melihatmu sakit adalah setelah kamu terperangkap 3 hari dalam goa karang di St. Tome, dan itu sudah setahun yang lalu bangsat!" tawaku pun membuncah.
"Sepertinya ini adalah pelayaran terakhirku di bawah Jolly Roger, mister" sahutmu lirih, namun kelirihan itu bagaikan suara halilintar tepat di lubang telingaku. Kamu pun terus saja bergumam, "ada sebuah pulau indah di Maldives, aku sudah membeli beberapa ratus acre tanah di depan sebuah teluk kecil yang sangat cocok untuk tempat hidup rumput laut dan udang. Aku pikir itu adalah tempat terbaik sedunia untuk membuang sauh dan beristirahat".
Aku hisap sekali lagi pipa rokokku dan menghembuskan asapnya perlahan-lahan. Seorang yang aku kenal tak pernah ragu meloncat seorang diri ke geladak kapal musuh dan seolah tanpa hati menebaskan pedang kembarnya langsung ke leher mereka, kini berbicara tentang rencana pensiun? Menjadi petani rumput laut dan peternak udang? Apakah Rum sudah menamatkan otaknya?
"Maafkan aku mister, aku seolah berlari tanpa tahu dimana garis finish sampai aku menatap matanya, aku bahkan bisa meninggalkan Rum dengan begitu mudahnya." Seketika aku terhenyak, entah kapan terakhir aku melihatnya memegang botol Rum, setidaknya tidak dalam beberapa bulan ini. Jika ada seseorang yang bisa melepaskan botol Rum itu dari tangannya, pastilah bukan orang sembarangan.
Seolah-olah awan badai mengambang di pelupuk mataku, sesaat lagi La Luz Del Cielo akan berlayar tanpa seorang navigator dan peramal cuaca terhebat sepanjang sejarah, pemabuk yang selalu tepat membaca arus dan arah angin membuat La luz del Cielo menjadi kapal yang paling ditakuti oleh para saudagar Portugis dan Spanyol karena kelincahan dan kecepatannya. Bahkan mitos pun berkembang bahwa La Luz del Cielo adalah titisan Flying Dutchman karena kemunculannya yang hampir mustahil terantisipasi.
"Di Guardafui nanti kita akan berpisah, lalu aku akan menaiki kapal penumpang menuju Aden untuk menjemputnya dan membawanya pergi ke Maldives." ujarnya membuyarkan lamunanku.
"Aku ingin minum Rum untuk terakhir kalinya bersamamu, di atas bebatuan karang tempat kita menyepakati pengembaraan ini 7 tahun yang lalu. “Aku ingin memberi penghormatan terakhir pada La Luz Del Cielo, laut yang memberikan rumah dan perlindungan serta pada seluruh pengembaraan ini." lanjutnya seraya menengadahkan kepala mengamati gumpalan-gumpalan awan yang berarakan cepat di langit laut Arab.
"Akhirnya surga itu telah mengirimkanmu hadiah seorang bidadari, kawan. Mungkin itu sebagai imbalan karena kamu telah menjadi malaikat penjaganya selama ini, selamat mister!" aku jabat erat tangannya dan menatap lekat kedalaman matanya yang biasanya memancarkan hasrat untuk membunuh, kali ini aku melihat guratan kebahagiaan dan kedamaian di dalamnya.
Hari ini tepat setahun setelah dia menuruni geladak La Luz Del Cielo di Cape Guardafui, aku rapatkan kapal pada sebuah teluk kecil pulau Hithadoo, Maldives. Bentangan-bentangan panjang tali teranyam indah di sepanjang teluk, menjadi tempat sempurna bagi tumbuhnya rumput laut di tiap simpulnya, beberapa karamba udang terlihat terapung diantaranya. Aku arahkan teropongku ke pantai berpasir putih dengan pondok kayu mungil berdiri di bawah rindangnya pepohonan kelapa. Dia duduk bersama seorang perempuan cantik di teras rumah sambil menganyam jala dan bersenda gurau, sepertinya mereka terlalu menikmati waktu sehingga tidak menyadari kehadiran La Luz Del Cielo di mulut teluk ini. Aku putar haluan keluar dari teluk ini sambil kudentangkan lonceng kapal sebanyak 3 kali sebagai tanda perpisahan, aku yakin dia tidak akan pernah melupakan bunyi lonceng ini.
Berbahagialah sobat, sesaat lagi La Luz Del Cielo akan terkaramkan di dasar laut dan cerita ini akan selalu hidup dalam legenda dan dongeng-dongeng pada anak-cucu kita menjelang tidur.

No comments:

Post a Comment

Tinggalkan saja disini...