Aku kayuh sekociku perlahan
menuju daratan Afrika di belakangku, sedangkan di depan mataku, di lepas pantai
Cape Guardafui, La Luz Del Cielo perlahan terbenam dalam lautan yang pekat,
Jolly Roger di puncak tiangnya melambai-lambai seolah mengucapkan selamat
tinggal pada 5 sekoci yang perlahan menjauh.
Aku daratkan sekoci di bebatuan
karang yang gelap, di tempat inilah aku dan sahabatku menyepakati sebuah
perjalanan dan petualangan liar yang telah sama-sama kami tinggalkan, sejenak
aku terdiam di tempat itu, mengeluarkan sebotol Rum dari dalam tas, membuka
tutupnya dan menumpahkan semua isinya ke tanah. Disinilah semua dimulai, dan
disini pulalah semua berakhir.
Aku langkahkan kaki memasuki
sebuah kedai kopi, meja-meja dan kursi ditata memenuhi ruang bahkan di pinggir
jalanpun disediakan beberapa pasang meja dan kursi untuk menampung luapan
pengunjung yang selalu melebihi kapasitas ruang kedai ini.
Susah payah aku melintasi
gumpalan manusia berbagai ras ini untuk mencapai meja bar. Seorang Arab
berambut keriting tebal dan bertubuh kecil tampak sibuk menuangkan kopi ke
puluhan cangkir yang berjajar di depannya. “Buatkan aku segelas besar kopi
Turkish atau aku kembalikan kau ke lubang yang penuh kotoran kuda itu!”
Teriakku dari ujung meja bar. Sontak dia menghentikan kesibukannya dan menoleh
ke asal suara. “Kau! Setan laut! Kau kembali!” teriaknya kegirangan sambil
memamerkan deretan gigi besar di balik kelebatan kumisnya. Segera dia
menghampiriku dan menyerahkan tugasnya meracik kopi pada salah satu pelayan.
“Mari ke belakang, kita bicara di sana.”
“Kenapa kau kembali ke kota ini
sobat? Apa laut sudah menolakmu sekarang? Hahaha.”
“Aku sudah menenggelamkan
kapalku.” Ujarku lirih lalu menghirup kopi Turkish-ku perlahan.
“Apa?!” Sontak dia berdiri,
“Kapal itu sudah seperti bagian dari tubuhmu, bagaimana mungkin kau…”
“Aku ingin ke Marakesh, karena
itu aku menemuimu” sahutku sambil menatap matanya yang cekung. “Perempuan itu
lagi.” Gumamnya. “Aku pikir petualangan hidup mati di laut bisa menenggelamkan
kenanganmu akan dia, kamu sadar dia adalah ketidakmungkinan bagimu bukan?”
“Ya, aku tahu. Aku hanya ingin
memastikan dia baik-baik saja dan berbahagia di sana.”
“Lalu setelah mengetahui itu kamu
akan baik-baik saja?”
“Mungkin, aku tidak tahu”
“Dasar goblok, kenapa kamu selalu
menginginkan sesuatu yang tidak mungkin kamu dapatkan?!”
“Sudah jangan banyak omong! Aku
anggap kamu tidak bias membantuku, terima kasih atas kopinya.” Aku pun berdiri
dan beranjak meninggalkannya.
“Mau kemana kamu? Aku akan
membantumu, duduklah kembali. Dasar bajak laut perajuk.”
2 bulan perjalanan yang berat
menuju Marakesh seakan terbayar saat aku melihat kembali gerbang kota ini.
Keraguan segera menjalar dan meraja, kakiku terasa beku, seolah terpaku pada
tanah. Di depan sana, Jalanan berbatu, rumah-rumah bertembok tanah dan
warna-warni kain yang tergantung di tembok-temboknya akan mengingatkanku
padanya: seorang perempuan yang pernah aku juluki “secuil surga yang jatuh ke
dunia” .
Tak banyak yang berubah dari kota
ini. Deretan kulit dijemur dan memenuhi pinggiran jalan, manusia berlalu lalang
dan berbicara dengan suara lantang, perempuan-perempuan berkain warna-warni,
deretan pohon Argan menghiasi padang pasir di luar tembok kota. Kota ini
dipenuhi warna-warni yang menakjubkan, namun bagiku setiap sudutnya dipenuhi
oleh kesedihan dan ketidakberdayaan. Aku seret langkah beratku menuju alun-alun
kota, memasuki sebuah kedai dan memesan kopi rempah serta roti gandum. Aku
pilih sebuah meja dengan jendela besar yang menghadap jalan, di meja inilah
kami berdua menikmati suasana kota yang menyambut malam, bagi kami gradasi
cahaya senja terlihat sangat indah dan memberikan sentuhan tersendiri pada
bangunan-bangunan tanah di sekeliling alun-alun.
“Aku selalu yakin kamu akan
kembali ke meja ini suatu saat.” Aku tercekat. Suara yang tak mungkin aku
lupakan. Terdengar sangat nyata, dan kali ini berjarak tak lebih dari satu
meter di belakangku. Berbagai perasaan berkecamuk, dadaku terasa penuh dan
ruangan ini seolah-olah menjadi hampa udara, aku tak mampu bernafas. Aku sedang
duduk di tempat yang hampir setiap hari kami singgahi, dan membayangkan dia
hadir di tempat ini, menyapaku. Itulah yang memicu otakku menghadirkan suara
imajinatif yang seolah-olah berasal dari luar diriku, dan terasa sangat nyata.
Namun kejadian selanjutnya
meruntuhkan semua anggapanku tentang halusinasi itu. Seorang perempuan
meletakkan nampan dengan kopi rempah, roti gandum dan segelas teh madu di atas
meja, kemudian dia duduk di hadapanku dan tersenyum. Dia adalah perempuan itu.
“Kenapa kamu ada di tempat ini.”
Tanyaku dengan wajah pucat. Dia hanya tersenyum sambil menatapku dalam, cukup
lama sampai akhirnya dia berujar. “aku
mempertaruhkan semua pada sebuah kebetulan. setelah semua kekacauan yang
terjadi beberapa tahun setelah kau pergi, aku memutuskan untuk membeli tempat
ini dan mengelolanya untuk bertahan hidup, sambil menunggu sebuah
kebetulan.”
“Apa yang terjadi dengan kamu dan
dia? Bukankah kalian saling mencintai?”
Dia pun tertawa renyah, lalu
meminum teh madunya. “Ya aku mencintainya, dan dia mencintaiku, tentu saja.”
“Lalu kenapa kau ada di sini
sekarang?” Aku tak mampu mencerna satupun kata yang di ucapkan.
“Kami adalah dua cahaya yang
memiliki terang yang sama kuat, kamu tahu apa yang terjadi jika dua cahaya yang
sama terang disatukan dalam satu gelombang?”
Aku semakin tersesat dalam
kata-katanya. Karena itu aku memilih diam dan mendengarkan.
“saling memusnahkan, kedua cahaya
itu akan saling memusnahkan. Bayangkan jika Bumi yang kita tempati ini diterangi
oleh dua matahari yang sama besar dan sama kuat, dan perpotongan cahaya kedua
matahari itu tepat di titik di mana bumi berada, maka hanya kegelapanlah yang
Bumi dapatkan. Satu menguatkan tapi dua saling melenyapkan.” Aku selalu
menyukai kilatan-kilatan di matanya saat dia mengungkapkan kecerdasan
berpikirnya, meski aku tidak setiap saat mampu mencerna kalimat-kalimatnya,
seperti saat ini tentu saja.
“Jadi bagaimana pengembaraanmu
selama ini?” tanyanya ke padaku.
“Aku telah sampai di akhir
pengembaraanku, dan sepertinya ini adalah akhir yang baik.” Ujarku lirih sambil
mendekatkan wajahku ke wajahnya, dan mencium bibirnya.