November 08, 2012

Senja di Marakesh




Aku kayuh sekociku perlahan menuju daratan Afrika di belakangku, sedangkan di depan mataku, di lepas pantai Cape Guardafui, La Luz Del Cielo perlahan terbenam dalam lautan yang pekat, Jolly Roger di puncak tiangnya melambai-lambai seolah mengucapkan selamat tinggal pada 5 sekoci yang perlahan menjauh.
Aku daratkan sekoci di bebatuan karang yang gelap, di tempat inilah aku dan sahabatku menyepakati sebuah perjalanan dan petualangan liar yang telah sama-sama kami tinggalkan, sejenak aku terdiam di tempat itu, mengeluarkan sebotol Rum dari dalam tas, membuka tutupnya dan menumpahkan semua isinya ke tanah. Disinilah semua dimulai, dan disini pulalah semua berakhir.
Aku langkahkan kaki memasuki sebuah kedai kopi, meja-meja dan kursi ditata memenuhi ruang bahkan di pinggir jalanpun disediakan beberapa pasang meja dan kursi untuk menampung luapan pengunjung yang selalu melebihi kapasitas ruang kedai ini.
Susah payah aku melintasi gumpalan manusia berbagai ras ini untuk mencapai meja bar. Seorang Arab berambut keriting tebal dan bertubuh kecil tampak sibuk menuangkan kopi ke puluhan cangkir yang berjajar di depannya. “Buatkan aku segelas besar kopi Turkish atau aku kembalikan kau ke lubang yang penuh kotoran kuda itu!” Teriakku dari ujung meja bar. Sontak dia menghentikan kesibukannya dan menoleh ke asal suara. “Kau! Setan laut! Kau kembali!” teriaknya kegirangan sambil memamerkan deretan gigi besar di balik kelebatan kumisnya. Segera dia menghampiriku dan menyerahkan tugasnya meracik kopi pada salah satu pelayan. “Mari ke belakang, kita bicara di sana.”
“Kenapa kau kembali ke kota ini sobat? Apa laut sudah menolakmu sekarang? Hahaha.”
“Aku sudah menenggelamkan kapalku.” Ujarku lirih lalu menghirup kopi Turkish-ku perlahan.
“Apa?!” Sontak dia berdiri, “Kapal itu sudah seperti bagian dari tubuhmu, bagaimana mungkin kau…”
“Aku ingin ke Marakesh, karena itu aku menemuimu” sahutku sambil menatap matanya yang cekung. “Perempuan itu lagi.” Gumamnya. “Aku pikir petualangan hidup mati di laut bisa menenggelamkan kenanganmu akan dia, kamu sadar dia adalah ketidakmungkinan bagimu bukan?”
“Ya, aku tahu. Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja dan berbahagia di sana.”
“Lalu setelah mengetahui itu kamu akan baik-baik saja?”
“Mungkin, aku tidak tahu”
“Dasar goblok, kenapa kamu selalu menginginkan sesuatu yang tidak mungkin kamu dapatkan?!”
“Sudah jangan banyak omong! Aku anggap kamu tidak bias membantuku, terima kasih atas kopinya.” Aku pun berdiri dan beranjak meninggalkannya.
“Mau kemana kamu? Aku akan membantumu, duduklah kembali. Dasar bajak laut perajuk.”


2 bulan perjalanan yang berat menuju Marakesh seakan terbayar saat aku melihat kembali gerbang kota ini. Keraguan segera menjalar dan meraja, kakiku terasa beku, seolah terpaku pada tanah. Di depan sana, Jalanan berbatu, rumah-rumah bertembok tanah dan warna-warni kain yang tergantung di tembok-temboknya akan mengingatkanku padanya: seorang perempuan yang pernah aku juluki “secuil surga yang jatuh ke dunia” .
Tak banyak yang berubah dari kota ini. Deretan kulit dijemur dan memenuhi pinggiran jalan, manusia berlalu lalang dan berbicara dengan suara lantang, perempuan-perempuan berkain warna-warni, deretan pohon Argan menghiasi padang pasir di luar tembok kota. Kota ini dipenuhi warna-warni yang menakjubkan, namun bagiku setiap sudutnya dipenuhi oleh kesedihan dan ketidakberdayaan. Aku seret langkah beratku menuju alun-alun kota, memasuki sebuah kedai dan memesan kopi rempah serta roti gandum. Aku pilih sebuah meja dengan jendela besar yang menghadap jalan, di meja inilah kami berdua menikmati suasana kota yang menyambut malam, bagi kami gradasi cahaya senja terlihat sangat indah dan memberikan sentuhan tersendiri pada bangunan-bangunan tanah di sekeliling alun-alun.
“Aku selalu yakin kamu akan kembali ke meja ini suatu saat.” Aku tercekat. Suara yang tak mungkin aku lupakan. Terdengar sangat nyata, dan kali ini berjarak tak lebih dari satu meter di belakangku. Berbagai perasaan berkecamuk, dadaku terasa penuh dan ruangan ini seolah-olah menjadi hampa udara, aku tak mampu bernafas. Aku sedang duduk di tempat yang hampir setiap hari kami singgahi, dan membayangkan dia hadir di tempat ini, menyapaku. Itulah yang memicu otakku menghadirkan suara imajinatif yang seolah-olah berasal dari luar diriku, dan terasa sangat nyata.
Namun kejadian selanjutnya meruntuhkan semua anggapanku tentang halusinasi itu. Seorang perempuan meletakkan nampan dengan kopi rempah, roti gandum dan segelas teh madu di atas meja, kemudian dia duduk di hadapanku dan tersenyum. Dia adalah perempuan itu.
“Kenapa kamu ada di tempat ini.” Tanyaku dengan wajah pucat. Dia hanya tersenyum sambil menatapku dalam, cukup lama sampai akhirnya dia berujar.  “aku mempertaruhkan semua pada sebuah kebetulan. setelah semua kekacauan yang terjadi beberapa tahun setelah kau pergi, aku memutuskan untuk membeli tempat ini dan mengelolanya untuk bertahan hidup, sambil menunggu sebuah kebetulan.”
“Apa yang terjadi dengan kamu dan dia? Bukankah kalian saling mencintai?”
Dia pun tertawa renyah, lalu meminum teh madunya. “Ya aku mencintainya, dan dia mencintaiku, tentu saja.”
“Lalu kenapa kau ada di sini sekarang?” Aku tak mampu mencerna satupun kata yang di ucapkan.
“Kami adalah dua cahaya yang memiliki terang yang sama kuat, kamu tahu apa yang terjadi jika dua cahaya yang sama terang disatukan dalam satu gelombang?”
Aku semakin tersesat dalam kata-katanya. Karena itu aku memilih diam dan mendengarkan.
“saling memusnahkan, kedua cahaya itu akan saling memusnahkan. Bayangkan jika Bumi yang kita tempati ini diterangi oleh dua matahari yang sama besar dan sama kuat, dan perpotongan cahaya kedua matahari itu tepat di titik di mana bumi berada, maka hanya kegelapanlah yang Bumi dapatkan. Satu menguatkan tapi dua saling melenyapkan.” Aku selalu menyukai kilatan-kilatan di matanya saat dia mengungkapkan kecerdasan berpikirnya, meski aku tidak setiap saat mampu mencerna kalimat-kalimatnya, seperti saat ini tentu saja.
“Jadi bagaimana pengembaraanmu selama ini?” tanyanya ke padaku.
“Aku telah sampai di akhir pengembaraanku, dan sepertinya ini adalah akhir yang baik.” Ujarku lirih sambil mendekatkan wajahku ke wajahnya, dan mencium bibirnya.

Sementara di luar, gemerlap cahaya senja menyirami setiap sudut kota Marakesh.

October 19, 2011

Tentang Emulsi

Aku banyak menulis saat berada dalam kondisi gelisah, bimbang, marah, jenuh, terjatuh atau terpuruk. menulis seperti membebaskan emulsi negatif dan meledakkannya dalam sebuah deretan kata. Kadang yang terjadi adalah sebuah letupan, kadang dentuman. Semua bergantung pada sepekat apa emulsi yang terledakkan.
Apakah memang seorang penulis harus selalu berada dalam ruang-ruang kegelisahan untuk dapat membangkitkan inspirasi kreatifnya? Aku lalu membayangkan para penulis besar yang begitu produktif di luar sana...sepekat apa emulsi kegelisahan di dalam dirinya? Segetir apa rasa yang pernah terkecap? Sepilu apa rasa yang pernah mengiris?

aku tidak berani, atau belum...

October 13, 2011

Dari Correntes Hingga Guardafui

Angin berhembus kencang dari Barat Daya, menampar kulit wajah yang merah terpanggang matahari. Suara lonceng kapal berdentang bersahutan dengan teriakan burung camar mengiringi gemeretakan lunas serta lambung kapal yang tertatih membelah perairan Komoro. Cape Correntes telah sebulan lebih kita tinggalkan, dua bulan ke depan La Luz Del Cielo akan memasuki Cape Guardafui yang menjadi pembatas teluk Aden dan samudera Hindia.
“Kamu tahu kenapa semenanjung ini dinamai Guardafui, sobat? orang Portugis yang memberinya nama, Guarda berarti penjaga, sedangkan Fui berarti aku, Guardafui berarti penjagaku dan hmm..bisa juga aku sebut penjaga-Ku, bukan?" lalu tawamu membahana dan seketika reda saat ujung botol rum menemui mulutmu yang terperangkap dalam kumis dan jenggot yang tumbuh membabi buta.

Utopia Indonesia

Hari ini aku pulang kerja berjalan kaki dari stasiun Malang sampai rumah kos, menyenangkan juga walaupun terasa lelah. Dengan berjalan kaki aku tahu ternyata jalan untuk kendaraan lebih mulus daripada jalan untuk pejalan kaki, berkali - kali aku harus turun ke jalan karena terhalang mobil yang parkir atau pagar toko yang memakan trotoar jalan, berulangkali juga aku hampir terserempet sepeda motor atau mobil, karena mereka terlalu tergesa-gesa sehingga tidak memperhatikan pejalan kaki. Begitulah wajah jalanan kita, tidak ada tempat untuk pejalan kaki. Pejalan kaki harus rela berjuang melintas jalanan padat dan bersaing dengan sepeda motor, mobil ataupun becak.

December 10, 2010

Hidup di Surga

Sering saya mendengar dan hampir percaya bahwa potensi kelautan negara ini sungguh tak terkira nilainya, ibarat kita hidup di atas tumpukan permata yang siap untuk kita manfaatkan demi kesejahteraan dan keagungan harkat dan martabat bangsa.
Mari kita renungkan sejenak, 18.000 Km adalah jarak yang panjang, dan itu adalah panjang garis pantai kita dimana setiap jengkal dari garis pantai itu menyimpan potensi yang begitu beraneka ragam. Ambil saja contoh Raja Ampat Papua yang menyimpan 75% dari jenis terumbu karang di dunia memiliki hamparan koral seluas 4,6 juta Ha! Atau mari kita melirik ke Mentawa-Sumatera Barat dengan lebih dari 23 lokasi surfing terbaik di dunia, begitu banyak hingga sulit menemukan video surfing tanpa menampilkan keindahan ombak mentawai di dalamnya.



Gambar: Raja Ampat-Papua

Hidup berdekatan dengan laut beberapa tahun terakhir semakin membuat saya lekat dengan nafas kehidupan masyarakat pesisir pantai Indonesia. Mulai dari hingar bingar kehidupan di Kuta-Bali hingga kebersahajaan penduduk Watukarung-Pacitan bahkan kehidupan paleolithic dengan pola kehidupan subsisten yang masih ada di garis pantai Mentawai-Sumatera Barat. Inilah fakta, ini pula ironi yang lestari di pekarangan rumah kita.

August 15, 2010

Hening yang tercipta


Aku lepaskan pandangan melintasi hamparan pepohonan kopi yang membentang di hadapanku, menyaksikan gugusan gunung berapi nun jauh di sana. Sebuah kenikmatan tersendiri menikmati kopi arabika dari tempatnya dipetik dan diproses dari bulir-bulir buah kopi merah tua hingga menjadi serbuk hitam kecoklatan dan beremulsi sempurna dengan air panas serta mengepulkan asap putih tipis di hadapanku kini.
Aku membiarkan diriku terhanyut dalam kesunyian ini

August 04, 2010

Aku, yang selalu tak terlihat, selalu absurd



...dan inilah aku,
yang tak terdefinisikan bagi seseorang di luar sana, yang selalu ada di batas ruang-ruang imajiner, yang selalu sekelebat lewat saat malam-malam yang sesak memaksanya untuk tetap terjaga...dan gelisah. Kenyataannya, memang dalam ruang itulah aku ditempatkan, selalu menjadi yang terasing dalam lingkungannya, yang selalu di-anonim-kan bila namaku terpaksa muncul dalam percakapan dengan teman-temannya.
aku yang selalu tak terlihat, selalu absurd...
Dia yang selalu mengilhamiku, yang selalu mampu membuat duniaku berotasi mengitarinya, dia selalu memberikan rasa nyaman

April 13, 2010

Kalibaru, 09 januari 2009

Sekali lagi Norah Jones mengalun menemani sore temaram selepas hujan. Di sudut pasar kecil aku mengamati remah-remah yang tertinggal oleh kisah masa kecilku. Disini aku pernah dilahirkan, disini pula aku kembali untuk sekedar singgah dan menikmati secangkir kopi lanang Malangsari.
Coffee shop kecil milik perkebunan kopi Malangsari ini hanya menyediakan 3 menu sederhana yaitu kopi, teh dan jahe itu saja. Tidak ada istilah2 kopi yang asing di telinga, sebuah kesederhanaan

February 17, 2010

Patah Hati Pada Hujan

Pada langit yang terkoyak selaput hitam, dan cahaya menyilaukan
Lalu hujan...
Mengingatkanmu pada air mata yang gemerintik
Lalu sunyi...
Mengingatkanmu pada senyuman patah itu
gerimis mengiris nadi, mengantarkan sakitnya dalam udara menujumu...
menuju rindumu

dan sekali lagi hujan menngecewakanku
karena dinginnya tak cukup

September 08, 2009

Til Kingdom Come

Steal my heart and hold my tongue.
I feel my time, my time has come.
Let me in, unlock the door.
I've never felt this way before.

The wheels just keep on turning,
The drummer begins to drum,
I don't know