October 13, 2011

Utopia Indonesia

Hari ini aku pulang kerja berjalan kaki dari stasiun Malang sampai rumah kos, menyenangkan juga walaupun terasa lelah. Dengan berjalan kaki aku tahu ternyata jalan untuk kendaraan lebih mulus daripada jalan untuk pejalan kaki, berkali - kali aku harus turun ke jalan karena terhalang mobil yang parkir atau pagar toko yang memakan trotoar jalan, berulangkali juga aku hampir terserempet sepeda motor atau mobil, karena mereka terlalu tergesa-gesa sehingga tidak memperhatikan pejalan kaki. Begitulah wajah jalanan kita, tidak ada tempat untuk pejalan kaki. Pejalan kaki harus rela berjuang melintas jalanan padat dan bersaing dengan sepeda motor, mobil ataupun becak.

Di tengah perjalanan aku melintasi lokasi Festival Malang Tempo Dulu, menarik juga melihat para perempuan yang memakai batik mode masa kini membeli jajanan kuno seperti ting-ting kacang, wedang ronde atau gulali. Kebanyakan setting tempat adalah suasana kolonialisme dimana para kolonial Belanda berpakaian indah dan minum kopi di cafe sedangkan di jalanan pribumi berdesakan menjajakan makanan lokal dengan pakaian bersahaja dalam keremangan lampu minyak dan obor.
Tidak banyak yang berubah masa lalu dan kini, penuh perjuangan. Kita harus rela mengambil resiko hidup dalam belitan hutang hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, bangun dini hari dan pulang larut malam untuk upah yang tidak seberapa, bahkan kita masih harus berjuang demi mendapatkan sedikit hak untuk sekedar berjalan aman di trotoar. Sedangkan para kolonial berwajah pribumi duduk santai sambil menikmati kopi sore harinya setelah seharian melakukan segala upaya untuk menguras uang rakyat dari segala lini. Penggelapan pajak, mark up anggaran, lobi politik milyaran rupiah, legalisasi produk impor murah untuk dijual semahal mungkin di dalam negeri, utak atik data untuk memuluskan impor bahan pokok agar beras petani dapat terbeli dengan murah.
Para kolonial berwajah pribumi itu juga memainkan politik adu domba dengan membentuk kelompok-kelompok sayap kiri yang bertugas membodohkan rakyat sambil bermain sandiwara seolah-olah kelompok-kelompok kiri ini memusuhi mereka, para penjajah. Mereka membentuk kekuatan-kekuatan atas nama rakyat untuk memecah arus kekuatan akar rumput yang mulai berkembang dan berpotensi menggoyahkan status quo. Berbagai skenario pembunuhan massal dirancang agar tak terdeteksi, kerusuhan, teror adalah senjata utama. Berbagai skenario keji yang hanya bertujuan untuk meningkatkan posisi tawar politik di depan negara-negara maju.
Aku meninggalkan jalan Ijen dengan terseok, hatiku remuk dan sekilas air mata membayang di pelupuk mataku. Rakyat bangsa ini masih bodoh, kerdil dan terpenjara, kita masih hidup dalam utopia, fatamorgana tentang tanah yang merdeka, tempat kita bisa menentukan nasib bangsa sendiri. Bebas menentukan sendiri mana benar dan mana yang salah tapa terdikte kebenaran yang telah disepakati oleh pihak luar. Tanah impian dimana di atasnya kita bisa bebas menentukan pakaian apa yang akan kita kenakan dan makanan apa yang akan kita makan esok hari. Tapi lihatlah kenyataan ini, kita dengan sukarela menyerahkan harga diri bangsa untuk diganti dengan seonggok mimpi tentang modernitas sampah, rela terhanyut dalam arus menuju mimpi "tatanan dunia baru" yang terencana dengan baik oleh konspirasi global, sebuah anonim dari kiamat.
Gedung Balai Kota Malang, bahkan Istana Negara adalah peninggalan kolonial Belanda yang sekarang masih dipakai untuk memerintah negara ini, ini adalah simbol bahwa kemerdekaan hanya sebuah ilusi...

No comments:

Post a Comment

Tinggalkan saja disini...